Gado - Gado itu Enak!

"Everything that I ever think..."

Yang terhormat,

Adinda Sasmita di Jalan Dago, Bandung, Jawa Barat.

Telah lama sejak kejadian yang Mirna ceritakan kepadaku melalui jurnalnya. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk Mirna. Aku tak kuasa melihat Mirna seperti ini terus.

Mirna memberikan sebuah jurnal padaku sebelum ia menemui kakaknya. Aku membaca kisah yang telah Mirna alami malam itu.

“Kak, kuharap engkau memaafkan aku setelah kumenuliskan seluruh cerita sebagai bukti apa yang telah terjadi malam itu. Aku sungguh menyesal. Aku marah pada diriku sendiri yang begitu bodoh tak mendengarkanmu.”

 Itu paragraf pertama yang kubaca. Kubalik ulang jurnal Mirna. Mirna  merasa bahwa perlakuan orangtua Mirna yang tidak adil padanya. Hingga kedua orangtuanya yang jarang pulang dan membiarkan Mirna tinggal sendiri dengan kakaknya. Kakak Mirna yang sangat baik hati dan merupakan satu-satunya orang yang menyayangi Mirna, tetap menahannya untuk menghirup udara segar saat keadaan Mirna bak teratai diatas lumpur, yang kian menenggelamkannya.

Tak pernah diperbolehkan oleh orang tua Mirna untuk keluar dan mengetahui dunia luar. Membuat Mirna benar-benar tak mengenal dunia ia sendiri. Yang ia tahu hanya belajar di sekolah, les musik dan pulang. Tak mengenal arah dan tak jua tahu akan lingkungan sekitar. Itu ulah orangtua Mirna yang sering mengurungnya. Membuat wajahnya pucat dan cekung karena tak memandang matahari, ditambah badannya yang kurus tinggi tertutup rambutnya yang terurai panjang.

Suatu hari, Mirna berangkat sekolah dan menolak tawaran kakaknya untuk dijemput sepulang dari tempat les. Alasan Mirna adalah bahwa ia ingin pacarnya tahu bahwa kakaknya itu bukanlah seperti dugaan pacarnya, yang mengira kakaknya adalah pacar Mirna. Padahal, dari dalam lubuk hati Mirna, ia tak kuat jika harus pulang terlalu cepat untuk menyambut kedatangan orang tuanya.

Tentu saja, kakak Mirna yang bernama Dimas, tak mengijinkan hal itu disamping ia tahu bahwa Mirna belum cukup umur untuk anak seumuran kelas satu SMP pacaran dan berduaan. Terutama ia kawatir akan adik yang ia sayangi itu. Mirna yang sudah mengetahui hal itu pulang dari tempat les melalui pintu belakang. Dimas yang tak kunjung bertemu Mirna semakin kawatir dan berkeliling daerah tempat les untuk mencari Mirna. Mirna tahu hal itu karena ia sempat bersembunyi untuk mengindari Dimas. Saat itu senja… Mirna menunggu Baim, pacarnya, di stasiun.

Baim yang tak kunjung datang membuat Mirna panik. Mirna memang mudah panik karena selama ini ia tak pernah keluar sendirian hingga larut malam. Belum…belum larut. Masih terdengar adzan Magrib disela-sela gedung-gedung tinggi Jakarta. Bias warna jingga menyemprotkan kemilaunya di ufuk Barat. Menandakan Matahari akan menyembunyikan sinarnya dari wajah Mirna.

Mirna yang marah akan kebohongan Baim yang akan menjemputnya sore itu. Mirna menyesal tak mendengarkan nasehat kakaknya pagi itu. Mirna menyesal membuat kakaknya kawatir akan keberadaannya saat itu. Mirna merasa bahwa ia ingin memakan tubuhnya sendiri, biarlah hilang sekalian didalam lumpur. Ia sangat menyayangi kakaknya. Ingin rasanya Mirna bersujud di kaki kakaknya untuk meminta maaf. Tak kuat Mirna membayangkan kakaknya yang terus mencarinya. Kii perasaan bersalah telah menyelimutinya. Bukan menjadi selimut yang hangat, tapi justru dingin dan sengsara.

Mirna yang hanya membawa uang sepuluh ribu, membeli tiket prameks. Ia teringat bahwa kakaknya pernah mengajaknya naik kereta ke Jakarta Pusat. Barangkali ia akan menemukan kakaknya. Rumahnya kan di Perumahan Menteng, Jakarta Pusat. Ternyata ia salah. Ia sudah di Jakarta Pusat sejak tadi, dan saat ini dia pergi naik kereta ke Jakarta Barat. Kenapa ia begitu bodoh saat petugas karcis membohonginya?

Mirna tak menyadari hal itu. Ditiketnya hanya tertulis dari stasiun Gondangdia menuju stasiun Bojong Indah. Tapi setelah ia tahu. Begitu jahatnya petugas karcis tersebut sampai-sampai ia tega membohongi seorang anak SMP seumuran Mirna. Sendiri dan tertidur dikursi kelas ekonomi menuju Jakarta Barat. Dan Mirna tak menyadari hal itu.

Jam besar di stasiun Bojong Indah membuat Mirna tertarik melihat jam. Jam tujuh malam, seharusnya ia belajar dirumah. Tapi saat ini, ia malah berkeliaran tak tau arah pulang. Mirna berjalan keluar dari stasiun dan menuju jalanan besar. Mirna haus, melihat ada warung kecil diseberang jalan membuatnya ingin membeli minuman disana. Namun, ia belum pernah menyeberang jalan selebar ini. Mengumpulkan seluruh keberanian untuk menyeberang, tapi tetap ia belum beranjak.

Kendaraan serasa tak mau memberinya kesempatan untuk menyebrang. Lalu lalang lampu tak lelah  menerangi jalan. Mirna menoleh kekiri dan ia menemukan lampu merah. Berjalan beberapa langkah dan mempersiapkan diri. Meskipun gugup, namun Mirna tetap mencoba meletakkan langkah pertamanya ke zebracross.

…………
Ia harus menoleh ke kanan dan kekiri,
sampai benar-benar yakin takada kendaraan
yang sedang ditunggangi malaikat maut.
Ia takut,
pesan ibu di kantong bajunya tercecer di aspal yang berlubang itu.
Karena itulah, ia menyebrang pelan-pelan sambil memegangi dadanya
yang menyimpan kesepian.
Ia tak pernah percaya zebra cross
Ia juga tak pernah percaya lampu merah

“Menyeberang Jalan” karya Pringadi Abdi Surya

Hatinya lega saat ia sudah diujung jalan yang berbeda. Berhenti di warung dan memesan es teh. Kesegaran cairan yang mengalir hanya berlangsung beberapa menit saja. Beberapa orang-orang berpakaian menyeramkan telah mengganggunya. Mirna meninggalkan warung dengan perasaan dag dig dug sambil mempercepat langkahnya.

Di tengah kekawatiran akan orang-orang jahat di warung tersebut. Hujan tiba-tiba serasa menangis, menjatuhkan bulir-bulir besar air ke kepala Mirna. Mirna takut hujan. Terutama petir yang menyambar-nyambar. Mirna berlari menuju tempat teduh.

Tak sadar akan apa yang membuat Mirna tersandung dalam gelap. Sebuah gundukan badan yang lemah dari seorang lelaki tua. Tidak  hanya seorang, tapi hingga belasan orang tidur diatas Koran-koran bekas. Dari anak-anak hingga orang tua. Mereka terlihat kurus dan suram, tulis Mirna. Mirna memandang mereka ngeri sedangkan mereka yang terbangun mulai menatap Mirna.

Kotor, tempat tersebut kotor. Mirna setengah akan berteriak saat ia menyadari bahwa mereka pengemis dan gelandangan. Tidur bersama sampah dan bangunan kotor. Tempat yang tertutup gedung-gedung indah di Jakarta, tulis Mirna.

Mirna berjalan pelan kebelakang. Ia berlari dan terus berlari. Meskipun dada sesak dan badan kedinginan oleh guyuran hujan. Mirna terus berlari hingga ia berhenti di sebuah taman. Mirna duduk diatas ayunan, memandang hujan yang terus menerjangnya. Takut akan berteduh di tempat yang gelap. Takut bertemu degan pengemis dan gelandangan.

……………
hujan mengantarkan jejak kaki yang ia tinggalkan.
Ada yang terselip di antara roda kendaraan.
Didedahkannya betis kaki, bulu-bulu halus
berlomba-lomba memanjar sampai pangkal paha.
……………..
“Hujan dalam sebuah Ingatan” karya Pringadi Abdi Surya.

Mirna seringkali menuliskan puisi yang melambangkan keadaannya saat itu. Aku meneteskan air mata saat membaca kisah Mirna. Mirna gadis kecil yang meskipun sudah kelas satu SMP. Ia masih sangat polos untuk bertemu dengan kerasnya dunia yang sebenarnya, yang sering tertutup oleh pemandangan manis menipu mata, menggelapkan hati dengan keduniawian.

Pusing mulai membentur ke kepala Mirna. Nyeri menyerang sekujur badan Mirna. Tak kuasa, Mirna Meneteskan air mata. Saat itu Mirna merasa bahwa inilah akhir dari kehidupannya. Belum sempat ia menghapus air matanya. Mirna melihat segerombolan preman yang sedang memalak anak-anak kecil dalam gubuk didekat gorong-gorong. Seketika itu, preman-preman mengerikan tersebut, tulis Mirna, mulai keluar.

Mirna yang tahu akan bahaya jika bertemu preman-preman tersebut berlari sekencang mungkin. Ia kembali ke trotoar di jalan raya. Ia mendengar teriakan preman dan langkah berat yang mulai mengejarnya. Meskipun Mirna adalah juara lari untuk umur setingkatnya. Keadaannya saat ini lemah, dan tak ada yang bisa ia percayai. Mirna pun memutuskan untuk tetap berlari.

Jauh rasanya dan sudah lupa letak stasiun Bojong Indah. Benar-benar buta akan arah, Mirna duduk di trotoar sambil sesekali menerawang jauh apakah preman-preman itu masih mengejarnya. Terengah-engah, hanya lampu-lampu besar di jalan yang menemaninya. Menangis, Mirna menangis semakin keras. Keras sekali dan tidak ada seorangpun mendengarnya. Suaranya kabur akan suara mobil yang melesat cepat dan klakson yang bersaut-sautan. Mirna menebak saat itu pastilah sudah jam sepuluh malam.
Lelah…lelah sekali. Lelah fisik, hati dan pikiran. Perasaan bersalah, ketakutan akan adanya hal-hal yang mengerikan, dan kaki yang sudah lemas. Seluruh badan yang sudah tak berdaya. Mirna yang menuliskan bahwa ia menangis dan terus menangis.

Mirna gadis kecil yang menangis.
Merindukan manisnya kasih sayang yang menutupinya dari kegelapan dunia
Lampu-lampu besar dijalan seperti menyapa Mirna
Menyalahkan Mirna
Mereka menemani Mirna
tapi mereka tak memberi berkas cahaya untuk pulang
Mirna sendirian
Menyalahkan Mirna
Sebenarnya apa mau mereka, hai lampu-lampu kuning besar di jalan
Mirna sendirian, sendiri, sepi dan menangis
Mengetahui kenyataan dibalik kehidupannya yang polos
Dan tak tahu apa-apa
Hatinya masih sangat lemah
Mirna gadis kecil yang menangis.

Gelap… tulis Mirna. Gelap……
Begitulah Mirna menceritakan tentang dirinya.

Saat itu aku menemukan Mirna tergeletak di trotar. Selama seminggu lebih aku dan keluargaku memulihkan keadaan Mirna yang lemas. Melihat Mirna, telah mengingatkanku akan anak perempuanku yang telah tiada. Kupikir aku dapat mengangkat Mirna menjadi anakku, meskipun aku hanya ayah yang memiliki kehidupan yang sederhana. Namun, aku dan istriku akan sangat bahagia apabila kami memiliki seorang putri. Kenyataannya, Mirna terus menerus memanggil kakaknya.

Mirna mengatakan padaku bahwa ayahnya adalah Bapak Subardjo, salah seorang pejabat negera yang tinggal di Menteng.Esok hari saat Mirna terlihat sudah bisa tersenyum manis kepadaku dan istriku. Aku agak berat hati mengantarkannya kembali kerumah. Seharian kami mencari rumah pak Bardjo. Hingga aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa Mirna bisa lupa akan detail rumahnya sendiri. Sungguh, keluarga Mirna pastilah terlalu mengekang.

Hingga tiba di pintu rumah mewah, Mirna berlari memencet bel rumah. Meskipun Mirna berkata padaku bahwa dadanya sesak dan ia sangat takut untuk bertemu kakaknya, namun wajah Mirna menunjukkan keyakinannya bahwa Dimas akan memaafkan Mirna.

Saat pintu terbuka, seorang perempuan anggun keluar dari rumah. Begitu melihat kami, ia membanting pintu. Seketika itu juga Mirna menangis dan berlutut di depan pintu. Ia berteriak pada pintu yang diam dan menutup. Mirna memohon dan mengaung. Hingga perempuan yang kuanggap bahwa ia ibu Mirna keluar, kali ini bersama suaminya.

Puaskah kamu mencelakakan anakku, dan kamu masih berani untuk datang kemari?! bentak ibu Mirna. Mirna yang kaget akan perkataan ibunya lalu mendekap lutut ibunya. Apa yang terjadi pada kakak, Bu…katakan padaku. Aku tak mengerti maksud ibu. Mirna menangis dan memohon kepada ibunya. Ibu Mirna mulai terisak dan melepaskan lututnya dari pelukan Mirna. Ayah Mirna yang saat itu diam, menenangkan ibu Mirna. Mirna, kakak kamu telah meninggal. Tepat empat hari yang lalu setelah ia diopname di rumah sakit. Ia mengalami kecelakaan saat mencarimu hingga keliling Jakarta.
Mirna berbicara padaku bahwa ia melihat kakaknya naik motor dan ia malah bersembunyi. Kemudian meledak sudah tangis Mirna. Ia mulai terlihat seperti anak yang sudah gila. Ia meraung dan mencakar. Ia meneriakkan nama kakaknya. Mirna berteriak tak percaya akan kepergian kakaknya.

Ibu Mirna berkata kepada Mirna bahwa Mirna harus meninggalkan rumah ini. Ia berkata bahwa orang yang membuatnya bertahan dirumah ini hanya Dimas. Jikalau Dimas pergi, maka Mirna juga harus pergi.
Orang tua Mirna menutup pintu rumahnya dan aku harus menyeret Mirna kembali ke motor. Aku mengajaknya ke pemakaman di Menteng. Hingga malam, aku dan Mirna mencari nisan kakaknya untuk membuat Mirna percaya akan kepergian kakaknya. Dan Mirna telah menemukannya. Tertulis Dimas, nama kakaknya.

Saat kami sampai dirumah. Kulihat Mirna mengurung diri tanpa makan dan minum. Aku prihatin melihat keadaan Mirna. Mirna mengigau sendiri dan menangis. Ia mulai kehilangan kesadaran diri. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sampai suatu hari, Mirna menuliskan sebuah nama, namamu. Dan juga alamat lengkapmu. Aku tak tahu siapa kamu. Tapi setiap malam Mirna menyebut namamu.

Sebelum aku menulis surat ini, aku membacalagi jurnal yang ditulis Mirna. Di akhir kisahnya itu ia menuliskan,
Kak, aku masih berhutang maaf yang banyak padamu
Aku masih berhutang ucapan terimakasih padamu
Aku belum membalas kebaikanmu padaku
Ijinkan aku menyusulmu agar aku dapat menyampaikan semua itu.

Aku takut akan hal buruk jika Mirna terus disini. Lebih baik kuantarkan Mirna beserta surat ini kepadamu. Sedangkan pernah suatu kali, Mirna memintaku untuk menyimpan jurnal miliknya. Ia pernah memohon padaku untuk mengabadikan kisahnya dalam bentuk tulisan yang dipublikasikan. Aku adalah seorang jurnalis, dan aku berjanji padanya untuk menunjukkan pada pemerintah bahwa ada kehidupan yang mesthi diperhatikan dibalik gedung-gedung mewah di Jakarta.

Aku dan istriku sangat sedih akan kehilangan Mirna yang sudah kami anggap sebagai putri kami sendiri. Tapi apa daya, kami tak sanggup melihat keadaan Mirna seperti ini. Kuharap engkau dapat mengembalikannya menjadi gadis yang cantik dan memiliki mimpi besar.

Terima Kasih.

Dari :
Arif Rahman dan Istrinya,
Rawa Buaya, Jakarta Barat.

Aku bergetar membaca surat ini. Lalu aku memandang anak kandungku yang sedang duduk dengan pandangan kosong. Aku memeluk Mirna erat dan aku menangis dipundaknya. Anakku… setelah sekian lama sejak aku tak punya cukup uang untuk membiayaimu. Kupikir engkau akan hidup bahagia. Setelah permohonan khusus dari Nak Dimas yang sangat menyayangimu seperti seorang adik kandung, aku telah mempercayainya.

Aku memeluk Mirna erat. Aku tak mau kehilangan Mirna lagi.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Most Viewed

Followers

I My Me Mine

Foto saya
Klaten, Jawa Tengah, Indonesia
"The hero of the story." hphogwartsgroup.blogspot.com Twitter : @gandhincul FB : Gandhincul Cakra Maruti Just Click It!