Yang terhormat,
Adinda Sasmita di Jalan
Dago, Bandung, Jawa Barat.
Telah lama sejak kejadian
yang Mirna ceritakan kepadaku melalui jurnalnya. Hanya ini yang bisa kulakukan
untuk Mirna. Aku tak kuasa melihat Mirna seperti ini terus.
Mirna memberikan sebuah
jurnal padaku sebelum ia menemui kakaknya. Aku membaca kisah yang telah Mirna
alami malam itu.
“Kak, kuharap engkau memaafkan aku setelah kumenuliskan seluruh
cerita sebagai bukti apa yang telah terjadi malam itu. Aku sungguh menyesal.
Aku marah pada diriku sendiri yang begitu bodoh tak mendengarkanmu.”
Itu paragraf pertama yang
kubaca. Kubalik ulang jurnal Mirna. Mirna
merasa bahwa perlakuan orangtua Mirna yang tidak adil padanya. Hingga
kedua orangtuanya yang jarang pulang dan membiarkan Mirna tinggal sendiri dengan
kakaknya. Kakak Mirna yang sangat baik hati dan merupakan satu-satunya orang
yang menyayangi Mirna, tetap menahannya untuk menghirup udara segar saat
keadaan Mirna bak teratai diatas lumpur, yang kian menenggelamkannya.
Tak pernah diperbolehkan
oleh orang tua Mirna untuk keluar dan mengetahui dunia luar. Membuat Mirna
benar-benar tak mengenal dunia ia sendiri. Yang ia tahu hanya belajar di
sekolah, les musik dan pulang. Tak mengenal arah dan tak jua tahu akan
lingkungan sekitar. Itu ulah orangtua Mirna yang sering mengurungnya. Membuat
wajahnya pucat dan cekung karena tak memandang matahari, ditambah badannya yang
kurus tinggi tertutup rambutnya yang terurai panjang.
Suatu hari, Mirna berangkat
sekolah dan menolak tawaran kakaknya untuk dijemput sepulang dari tempat les.
Alasan Mirna adalah bahwa ia ingin pacarnya tahu bahwa kakaknya itu bukanlah
seperti dugaan pacarnya, yang mengira kakaknya adalah pacar Mirna. Padahal,
dari dalam lubuk hati Mirna, ia tak kuat jika harus pulang terlalu cepat untuk
menyambut kedatangan orang tuanya.
Tentu saja, kakak Mirna
yang bernama Dimas, tak mengijinkan hal itu disamping ia tahu bahwa Mirna belum
cukup umur untuk anak seumuran kelas satu SMP pacaran dan berduaan. Terutama ia
kawatir akan adik yang ia sayangi itu. Mirna yang sudah mengetahui hal itu
pulang dari tempat les melalui pintu belakang. Dimas yang tak kunjung bertemu
Mirna semakin kawatir dan berkeliling daerah tempat les untuk mencari Mirna.
Mirna tahu hal itu karena ia sempat bersembunyi untuk mengindari Dimas. Saat
itu senja… Mirna menunggu Baim, pacarnya, di stasiun.
Baim yang tak kunjung
datang membuat Mirna panik. Mirna memang mudah panik karena selama ini ia tak
pernah keluar sendirian hingga larut malam. Belum…belum larut. Masih terdengar
adzan Magrib disela-sela gedung-gedung tinggi Jakarta. Bias warna jingga
menyemprotkan kemilaunya di ufuk Barat. Menandakan Matahari akan menyembunyikan
sinarnya dari wajah Mirna.
Mirna yang marah akan
kebohongan Baim yang akan menjemputnya sore itu. Mirna menyesal tak
mendengarkan nasehat kakaknya pagi itu. Mirna menyesal membuat kakaknya kawatir
akan keberadaannya saat itu. Mirna merasa bahwa ia ingin memakan tubuhnya
sendiri, biarlah hilang sekalian didalam lumpur. Ia sangat menyayangi kakaknya.
Ingin rasanya Mirna bersujud di kaki kakaknya untuk meminta maaf. Tak kuat Mirna
membayangkan kakaknya yang terus mencarinya. Kii perasaan bersalah telah
menyelimutinya. Bukan menjadi selimut yang hangat, tapi justru dingin dan
sengsara.
Mirna yang hanya membawa
uang sepuluh ribu, membeli tiket prameks. Ia teringat bahwa kakaknya pernah
mengajaknya naik kereta ke Jakarta Pusat. Barangkali ia akan menemukan
kakaknya. Rumahnya kan di Perumahan Menteng, Jakarta Pusat. Ternyata ia salah.
Ia sudah di Jakarta Pusat sejak tadi, dan saat ini dia pergi naik kereta ke
Jakarta Barat. Kenapa ia begitu bodoh saat petugas karcis membohonginya?
Mirna tak menyadari hal
itu. Ditiketnya hanya tertulis dari stasiun Gondangdia menuju stasiun Bojong
Indah. Tapi setelah ia tahu. Begitu jahatnya petugas karcis tersebut
sampai-sampai ia tega membohongi seorang anak SMP seumuran Mirna. Sendiri dan
tertidur dikursi kelas ekonomi menuju Jakarta Barat. Dan Mirna tak menyadari
hal itu.
Jam besar di stasiun Bojong
Indah membuat Mirna tertarik melihat jam. Jam tujuh malam, seharusnya ia
belajar dirumah. Tapi saat ini, ia malah berkeliaran tak tau arah pulang. Mirna
berjalan keluar dari stasiun dan menuju jalanan besar. Mirna haus, melihat ada
warung kecil diseberang jalan membuatnya ingin membeli minuman disana. Namun,
ia belum pernah menyeberang jalan selebar ini. Mengumpulkan seluruh keberanian
untuk menyeberang, tapi tetap ia belum beranjak.
Kendaraan serasa tak mau
memberinya kesempatan untuk menyebrang. Lalu lalang lampu tak lelah menerangi jalan. Mirna menoleh kekiri dan ia
menemukan lampu merah. Berjalan beberapa langkah dan mempersiapkan diri.
Meskipun gugup, namun Mirna tetap mencoba meletakkan langkah pertamanya ke
zebracross.
…………
Ia harus menoleh ke kanan
dan kekiri,
sampai benar-benar yakin
takada kendaraan
yang sedang ditunggangi
malaikat maut.
Ia takut,
pesan ibu di kantong
bajunya tercecer di aspal yang berlubang itu.
Karena itulah, ia
menyebrang pelan-pelan sambil memegangi dadanya
yang menyimpan kesepian.
Ia tak pernah percaya zebra
cross
Ia juga tak pernah percaya
lampu merah
“Menyeberang Jalan” karya Pringadi Abdi Surya
Hatinya lega saat ia sudah
diujung jalan yang berbeda. Berhenti di warung dan memesan es teh. Kesegaran
cairan yang mengalir hanya berlangsung beberapa menit saja. Beberapa
orang-orang berpakaian menyeramkan telah mengganggunya. Mirna meninggalkan
warung dengan perasaan dag dig dug sambil mempercepat langkahnya.
Di tengah kekawatiran akan
orang-orang jahat di warung tersebut. Hujan tiba-tiba serasa menangis,
menjatuhkan bulir-bulir besar air ke kepala Mirna. Mirna takut hujan. Terutama
petir yang menyambar-nyambar. Mirna berlari menuju tempat teduh.
Tak sadar akan apa yang
membuat Mirna tersandung dalam gelap. Sebuah gundukan badan yang lemah dari
seorang lelaki tua. Tidak hanya seorang,
tapi hingga belasan orang tidur diatas Koran-koran bekas. Dari anak-anak hingga
orang tua. Mereka terlihat kurus dan suram, tulis Mirna. Mirna memandang mereka
ngeri sedangkan mereka yang terbangun mulai menatap Mirna.
Kotor, tempat tersebut
kotor. Mirna setengah akan berteriak saat ia menyadari bahwa mereka pengemis
dan gelandangan. Tidur bersama sampah dan bangunan kotor. Tempat yang tertutup
gedung-gedung indah di Jakarta, tulis Mirna.
Mirna berjalan pelan
kebelakang. Ia berlari dan terus berlari. Meskipun dada sesak dan badan
kedinginan oleh guyuran hujan. Mirna terus berlari hingga ia berhenti di sebuah
taman. Mirna duduk diatas ayunan, memandang hujan yang terus menerjangnya.
Takut akan berteduh di tempat yang gelap. Takut bertemu degan pengemis dan
gelandangan.
……………
hujan mengantarkan jejak
kaki yang ia tinggalkan.
Ada yang terselip di antara
roda kendaraan.
Didedahkannya betis kaki,
bulu-bulu halus
berlomba-lomba memanjar
sampai pangkal paha.
……………..
“Hujan dalam sebuah Ingatan” karya Pringadi Abdi
Surya.
Mirna seringkali menuliskan
puisi yang melambangkan keadaannya saat itu. Aku meneteskan air mata saat
membaca kisah Mirna. Mirna gadis kecil yang meskipun sudah kelas satu SMP. Ia
masih sangat polos untuk bertemu dengan kerasnya dunia yang sebenarnya, yang
sering tertutup oleh pemandangan manis menipu mata, menggelapkan hati dengan
keduniawian.
Pusing mulai membentur ke
kepala Mirna. Nyeri menyerang sekujur badan Mirna. Tak kuasa, Mirna Meneteskan
air mata. Saat itu Mirna merasa bahwa inilah akhir dari kehidupannya. Belum
sempat ia menghapus air matanya. Mirna melihat segerombolan preman yang sedang
memalak anak-anak kecil dalam gubuk didekat gorong-gorong. Seketika itu,
preman-preman mengerikan tersebut, tulis Mirna, mulai keluar.
Mirna yang tahu akan bahaya
jika bertemu preman-preman tersebut berlari sekencang mungkin. Ia kembali ke
trotoar di jalan raya. Ia mendengar teriakan preman dan langkah berat yang
mulai mengejarnya. Meskipun Mirna adalah juara lari untuk umur setingkatnya.
Keadaannya saat ini lemah, dan tak ada yang bisa ia percayai. Mirna pun
memutuskan untuk tetap berlari.
Jauh rasanya dan sudah lupa
letak stasiun Bojong Indah. Benar-benar buta akan arah, Mirna duduk di trotoar
sambil sesekali menerawang jauh apakah preman-preman itu masih mengejarnya.
Terengah-engah, hanya lampu-lampu besar di jalan yang menemaninya. Menangis, Mirna
menangis semakin keras. Keras sekali dan tidak ada seorangpun mendengarnya.
Suaranya kabur akan suara mobil yang melesat cepat dan klakson yang
bersaut-sautan. Mirna menebak saat itu pastilah sudah jam sepuluh malam.
Lelah…lelah sekali. Lelah
fisik, hati dan pikiran. Perasaan bersalah, ketakutan akan adanya hal-hal yang
mengerikan, dan kaki yang sudah lemas. Seluruh badan yang sudah tak berdaya. Mirna
yang menuliskan bahwa ia menangis dan terus menangis.
Mirna gadis kecil yang
menangis.
Merindukan manisnya kasih
sayang yang menutupinya dari kegelapan dunia
Lampu-lampu besar dijalan
seperti menyapa Mirna
Menyalahkan Mirna
Mereka menemani Mirna
tapi mereka tak memberi
berkas cahaya untuk pulang
Mirna sendirian
Menyalahkan Mirna
Sebenarnya apa mau mereka,
hai lampu-lampu kuning besar di jalan
Mirna sendirian, sendiri,
sepi dan menangis
Mengetahui kenyataan
dibalik kehidupannya yang polos
Dan tak tahu apa-apa
Hatinya masih sangat lemah
Mirna gadis kecil yang
menangis.
Gelap… tulis Mirna. Gelap……
Begitulah Mirna
menceritakan tentang dirinya.
Saat itu aku menemukan Mirna
tergeletak di trotar. Selama seminggu lebih aku dan keluargaku memulihkan
keadaan Mirna yang lemas. Melihat Mirna, telah mengingatkanku akan anak
perempuanku yang telah tiada. Kupikir aku dapat mengangkat Mirna menjadi
anakku, meskipun aku hanya ayah yang memiliki kehidupan yang sederhana. Namun,
aku dan istriku akan sangat bahagia apabila kami memiliki seorang putri.
Kenyataannya, Mirna terus menerus memanggil kakaknya.
Mirna mengatakan padaku
bahwa ayahnya adalah Bapak Subardjo, salah seorang pejabat negera yang tinggal
di Menteng.Esok hari saat Mirna terlihat sudah bisa tersenyum manis kepadaku
dan istriku. Aku agak berat hati mengantarkannya kembali kerumah. Seharian kami
mencari rumah pak Bardjo. Hingga aku bertanya-tanya dalam hati, kenapa Mirna
bisa lupa akan detail rumahnya sendiri. Sungguh, keluarga Mirna pastilah
terlalu mengekang.
Hingga tiba di pintu rumah
mewah, Mirna berlari memencet bel rumah. Meskipun Mirna berkata padaku bahwa
dadanya sesak dan ia sangat takut untuk bertemu kakaknya, namun wajah Mirna
menunjukkan keyakinannya bahwa Dimas akan memaafkan Mirna.
Saat pintu terbuka, seorang
perempuan anggun keluar dari rumah. Begitu melihat kami, ia membanting pintu.
Seketika itu juga Mirna menangis dan berlutut di depan pintu. Ia berteriak pada
pintu yang diam dan menutup. Mirna memohon dan mengaung. Hingga perempuan yang
kuanggap bahwa ia ibu Mirna keluar, kali ini bersama suaminya.
Puaskah kamu mencelakakan
anakku, dan kamu masih berani untuk datang kemari?! bentak ibu Mirna. Mirna
yang kaget akan perkataan ibunya lalu mendekap lutut ibunya. Apa yang terjadi
pada kakak, Bu…katakan padaku. Aku tak mengerti maksud ibu. Mirna menangis dan
memohon kepada ibunya. Ibu Mirna mulai terisak dan melepaskan lututnya dari
pelukan Mirna. Ayah Mirna yang saat itu diam, menenangkan ibu Mirna. Mirna,
kakak kamu telah meninggal. Tepat empat hari yang lalu setelah ia diopname di
rumah sakit. Ia mengalami kecelakaan saat mencarimu hingga keliling Jakarta.
Mirna berbicara padaku
bahwa ia melihat kakaknya naik motor dan ia malah bersembunyi. Kemudian meledak
sudah tangis Mirna. Ia mulai terlihat seperti anak yang sudah gila. Ia meraung
dan mencakar. Ia meneriakkan nama kakaknya. Mirna berteriak tak percaya akan
kepergian kakaknya.
Ibu Mirna berkata kepada Mirna
bahwa Mirna harus meninggalkan rumah ini. Ia berkata bahwa orang yang
membuatnya bertahan dirumah ini hanya Dimas. Jikalau Dimas pergi, maka Mirna
juga harus pergi.
Orang tua Mirna menutup
pintu rumahnya dan aku harus menyeret Mirna kembali ke motor. Aku mengajaknya
ke pemakaman di Menteng. Hingga malam, aku dan Mirna mencari nisan kakaknya
untuk membuat Mirna percaya akan kepergian kakaknya. Dan Mirna telah
menemukannya. Tertulis Dimas, nama kakaknya.
Saat kami sampai dirumah. Kulihat
Mirna mengurung diri tanpa makan dan minum. Aku prihatin melihat keadaan Mirna.
Mirna mengigau sendiri dan menangis. Ia mulai kehilangan kesadaran diri. Aku
tak tahu harus berbuat apa. Sampai suatu hari, Mirna menuliskan sebuah nama,
namamu. Dan juga alamat lengkapmu. Aku tak tahu siapa kamu. Tapi setiap malam Mirna
menyebut namamu.
Sebelum aku menulis surat
ini, aku membacalagi jurnal yang ditulis Mirna. Di akhir kisahnya itu ia
menuliskan,
Kak, aku masih berhutang
maaf yang banyak padamu
Aku masih berhutang ucapan
terimakasih padamu
Aku belum membalas
kebaikanmu padaku
Ijinkan aku menyusulmu agar
aku dapat menyampaikan semua itu.
Aku takut akan hal buruk
jika Mirna terus disini. Lebih baik kuantarkan Mirna beserta surat ini
kepadamu. Sedangkan pernah suatu kali, Mirna memintaku untuk menyimpan jurnal
miliknya. Ia pernah memohon padaku untuk mengabadikan kisahnya dalam bentuk
tulisan yang dipublikasikan. Aku adalah seorang jurnalis, dan aku berjanji
padanya untuk menunjukkan pada pemerintah bahwa ada kehidupan yang mesthi
diperhatikan dibalik gedung-gedung mewah di Jakarta.
Aku dan istriku sangat
sedih akan kehilangan Mirna yang sudah kami anggap sebagai putri kami sendiri.
Tapi apa daya, kami tak sanggup melihat keadaan Mirna seperti ini. Kuharap engkau
dapat mengembalikannya menjadi gadis yang cantik dan memiliki mimpi besar.
Terima Kasih.
Dari
:
Arif
Rahman dan Istrinya,
Rawa
Buaya, Jakarta Barat.
Aku bergetar membaca surat ini. Lalu aku memandang anak kandungku
yang sedang duduk dengan pandangan kosong. Aku memeluk Mirna erat dan aku
menangis dipundaknya. Anakku… setelah sekian lama sejak aku tak punya cukup
uang untuk membiayaimu. Kupikir engkau akan hidup bahagia. Setelah permohonan
khusus dari Nak Dimas yang sangat menyayangimu seperti seorang adik kandung,
aku telah mempercayainya.
Aku memeluk Mirna erat. Aku tak mau kehilangan Mirna lagi.
0 komentar:
Posting Komentar